Bila saja masih ada
tempat yang tersisa di tepian hatimu, maka biarkan aku menumbuhkan kembali
rumpun-rumpun padi ditengahnya. Menjaganya hingga berbunga lalu bila saatnya
tiba, kita panen bersama. Bukankah itu
semua akan terasa begitu indah?
Aku
tentu saja tidak ingin berjanji akan dapat membuatmu bahagia selamanya, seperti
ketika ruang-ruang dibenakmu berubah menjadi guludan-guludan pengharapan,
dipenuhi petak-petak persemaian atas segala impian masa depan.
Aku lelah menjadi seonggok bualan
hidup yang kau jalani....
Apa yang membuatmu
tidak pernah sedikitpun percaya padaku, meski seringkali semua kuungkap dengan
jelas, tidak ada yang tertutupi, seperti diriku yang telah membuka seluruh hati untukmu. Berapa banyak lagi harus kuberikan
padamu bangkai-bangkai penggerek padi yang telah semena-mena mematahkan semangat
hidupmu. Pula sekumpulan tikus yang menjadikan bulir-bulir padi tak lagi
dipenuhi harapan dan kasih sayang. Memburu sepasukan wereng juga lembing tanpa
ampun, seperti memburu hatimu, Sum, yang memilih pergi meninggalkan kampung
kita, meninggalkanku.
Sum, aku masih saja
berusaha untuk bisa mengerti, mengapa kau memilih untuk pergi, meninggalkanku
di sini. Mungkin kau telah letih
berkubang lumpur setiap hari, atau kau telah bosan berjemur di bawah terik
matahari ketika musim tanam padi tiba. Aku selalu berusaha mengerti, Sum,
ketika kedua kakimu dipenuhi bintik-bintik merah, karena betapa gatalnya lumpur
di sawah yang baru kau tanami bibit-bibit padi. Pun ketika wajahmu memerah
mengelupas, aku mengerti...
Di sini, di Dusun
Kemranggen, rumah kita, aku terus saja mengingatmu, Sum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar