Sabtu, 03 Mei 2014

KEMRANGGEN dan SUM



Bila saja masih ada tempat yang tersisa di tepian hatimu, maka biarkan aku menumbuhkan kembali rumpun-rumpun padi ditengahnya. Menjaganya hingga berbunga lalu bila saatnya tiba, kita panen bersama. Bukankah itu semua akan terasa begitu indah?
          Aku tentu saja tidak ingin berjanji akan dapat membuatmu bahagia selamanya, seperti ketika ruang-ruang dibenakmu berubah menjadi guludan-guludan pengharapan, dipenuhi petak-petak persemaian atas segala impian masa depan. 
Aku lelah menjadi seonggok bualan hidup yang kau jalani....
Apa yang membuatmu tidak pernah sedikitpun percaya padaku, meski seringkali semua kuungkap dengan jelas, tidak ada yang tertutupi, seperti diriku yang telah membuka seluruh  hati untukmu. Berapa banyak lagi harus kuberikan padamu bangkai-bangkai penggerek padi yang telah semena-mena mematahkan semangat hidupmu. Pula sekumpulan tikus yang menjadikan bulir-bulir padi tak lagi dipenuhi harapan dan kasih sayang. Memburu sepasukan wereng juga lembing tanpa ampun, seperti memburu hatimu, Sum, yang memilih pergi meninggalkan kampung kita, meninggalkanku.
Sum, aku masih saja berusaha untuk bisa mengerti, mengapa kau memilih untuk pergi, meninggalkanku di sini.   Mungkin kau telah letih berkubang lumpur setiap hari, atau kau telah bosan berjemur di bawah terik matahari ketika musim tanam padi tiba. Aku selalu berusaha mengerti, Sum, ketika kedua kakimu dipenuhi bintik-bintik merah, karena betapa gatalnya lumpur di sawah yang baru kau tanami bibit-bibit padi. Pun ketika wajahmu memerah mengelupas, aku mengerti...
Di sini, di Dusun Kemranggen, rumah kita, aku terus saja mengingatmu, Sum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar