Semenjak
pertemuan antara kita menjadi kenyataan pahit, aku kerap mengira-ngira apakah
nantinya masih ada lagi kemungkinan-kemungkinan untuk kita saling menatap.
Kini, sudah berjalan 25 tahun lebih 2 bulan, tiba-tiba saja aku menjadi sangat
ingin mengingatmu, setelah hanya tinggal sepucuk surat yang dulu sengaja kamu gantungkan di
depan pintu kamarku dengan seutas benang merah jambu.
Waktu
itu aku hanya menatap sampul pelangi darimu bergoyang-goyang di jepit paku payung
tanpa prasangka sebab aku sedang terlalu bahagia bersamamu. Sampai jam dinding
berdentang sepuluh kali. Akhirnya aku
tahu bahwa kamu sudah naik kereta pukul satu pagi, pergi ke negeri entahlah.
Aku menghela nafas panjang, sekali lagi surat
darimu kubaca,
Parang, selamat pagi
Sampul pelangi, surat wangi, benang
merah jambu
Aku berikan kenangan di sini.
Satu pagi, sebelum kokok menjemput
para malaikat
Aku sudah berada dalam ruang besi,
Melepas setiap batang rel yang
meyimpan bunga kecil putih kuning
Milik kita,
Aku pergi mencari negeri entahlah
Agar asalku menjadi punya arti.
Adakah pagi juga
untukku?
-NEINA-
Ada sebuah pertanyaan
ingin aku sampaikan kepadamu sejak dulu ; mengapa kamu pergi, atau jika memang
kamu ingin pergi mengapa hanya surat
saja yang tertinggal, lalu gambarmu? Tentu saja aku tidak akan melupakan
wajahmu dua puluh lima tahun lalu, tetapi sekarang sudah
seperti apakah? Mungkinkah tetap masih sama, atau sudah berubah? Bagaimana pun
ketika waktu berjalan pastilah segala sesuatunya akan berbeda.
***
Jika
sore hari tidak ada hujan, aku masih sering berjalan melewati batang-batang rel
kereta api di sebelah kampung kita. Walaupun aku tahu orang-orang tidak
akan pernah merelakan kamu pun
mengakuinya meski dalam surat
kelahiranmu dituliskan bahwa kamu terlahir di sini, di Kampung Misteri. Aku pun
masih ingat, kamu sering merengek agar aku memetik bunga-bunga kecil putih
kuning yang tumbuh di tepi batang rel lalu kamu memintaku memilin bunga-bunga
itu menjadi sebuah cincin atau bando.
Juga ketika pohon pete Wak Sanip
sedang berbunga, kita berlarian berebut bunga pete yang jatuh di pagi hari
bersama anak-anak kampung. Lalu kamu melemparnya ke langit.
“Agar Dewa Langit pun bisa makan
pete,”
Ah, Neina, apa yang sedang kamu
pikirkan saat ini, Sayang? Apakah kamu masih percaya kepada Dewa Langit?
“Apa yang sedang kamu lakukan,
Neina?”
“Membakar hio,”
“Untuk apa?”
“Karena aku sedang berdoa memohon
keselamatan dan kebahagiaan untukku, untuk ayah dan ibuku juga untukmu, Parang.”
Sejak itu setiap kali aku
sembahyang, namamu pasti kusisipkan di bibir dan batinku. Meminta agar kamu dan
orang tuamu diberikan keselamatan dan kebahagiaan. Apakah Engkau dengar, Tuhan?
Aku tidak tahu jawabannya dan aku juga tidak tahu apakah Tuhanmu pun
mendengarkan namaku disebut olehmu.
Kamu sungguh baik kepadaku, Neina.
Meski sering aku cubit kulit halusmu yang sejernih buah apel Malang, juga ketika mengolok matamu yang
hanya separuh biji kelereng itu. Kata tukang ramal dekat rumahmu, pada usia 20
tahun nanti kamu akan berjodoh dengan pemuda berkulit pohon pinus, akukah?
Bukan, tentu saja bukan sebab sejak itu kamu tidak pernah lagi melemparkan
bunga pete ke langit. Tidak pernah lagi merengek meminta cincin atau bando dari
bunga kecil putih kuning yang kita petik di pinggir rel kereta api setiap sore
jika hujan sedang tidak ada.
***
Senja berdiri kabur di atas kanopi
angsana (Pterocarpus indicus), aku
terus mengayunkan kaki melewati jalan
keluar kampus di tepi danau Tanpa Nama yang
sejak tiga tahun lalu menjadi tempatku mengajar. Bagaimana denganmu
Neina? Sekolah di mana, bekerja di mana, sudah menikahkah dirimu? Busyet! Hanya
pertanyaan terakhir selalu memberiku mimpi buruk tentangmu, siapa lelaki
berkulit pohon pinus itu?
“Maaf, Pak, saya bukan Neina,”
Astaga! Sampai mulut dan otakku pun
sudah tidak nyambung lagi, kau juga kah? Mengingat segala permainan sembilan tahun
usiamu bersamaku sedemikian rupa sehingga setiap dalil, sedetail rumus, seinchi
langkah, sehuruf kata, seangka hitungan,
namamu tidak henti-hentinya terngiang.
Apakah akan selamanya seperti ini, Neina?
“Pak! Bukankah E sama dengan emce
kuadrat adalah rumus untuk menghitung kecepatan cahaya yang diciptakan oleh
Einstein?”
“Ya, lalu?”
“Mengapa ditulis Neina, Pak?”
Duh Gusti Allah, mata setengah biji
gundu itu terus mengikutiku. Benar-benar serupa hantu. Aku lari ke segala
penjuru dan mata angin, kamu selalu saja mengejar.
“Pak, benarkan bambu cina adalah
sejenis bambu pembawa keberuntungan?” Oh.., apalagi, brengsek!
Di depan rumahmu banyak sekali, bukan
banyak tepatnya kurang lebih ada lima
pot tanaman bambu cina. Ibumu pernah bilang bahwa tanaman tersebut dapat
memberi keberuntungan bagi pemiliknya. Sampai kini aku masih belum mengerti,
mungkin karena aku selalu memaksa diri meyakini
keberuntunganku adalah menjadi lelaki berkulit pohon pinus yang berjodoh
denganmu kelak.
“Bukan bambu cina tetapi Neina!”
Entahlah mengapa selalu namamu,
akhir-akhir ini. Sehingga angin seperti kilat menebar desas-desus tentangku
denganmu. Mereka mengira aku tengah jatuh cinta kepadamu, bahkan ada yang
mengatakan telah patah hati karenamu.
Pasti kamu pun akan tertawa
sepertiku saat ini, menertawakan mereka. Barangkali sesungguhnya aku sedang
menertawakan diriku sendiri yang malang
dan bodoh.
Sudah seberapa jauh kamu pergi,
Sayang? Dulu kamu selalu suka memanggilku Junglu, seolah-olah aku adalah lelaki
dewasa. Sedang aku memanggilmu Yehonala. Dan Kampung Misteri adalah seperti
Kota Terlarang kita. Lalu, kaisar?
“Jangan buat kaisar itu ada,” suatu saat ujarmu di temaram senja.
“Mengapa?”
Tiba-tiba kamu merasuk ke dalam
pekatnya sunyi sehingga kesenyapan berwarna ungu. Kamu menjelma seperti batu ;
kaku dan kesepian. Namun aku tahu kamu sedang berpikir seakan sedang melukis Kota Terlarang sendirian, tanpa
kaisar. Seperti Yehonala melukis rumpun bambu dan pohon premnya dengan
angan-angan seorang perempuan berpikiran cerdas berpadu dengan lelaki berhati
baja. Bukan dengan angan orang lain. Aku tahu,
kamu ingin mencapai bintang tertinggi agar dapat bebas memilih antara hitam dan putih sebab
katamu sampai kapanpun Kampung Misteri tidak akan merelakanmu mengakuinya
sebagai tanah kelahiran. Waktu itu aku belum mengerti tentang ucapanmu juga
ketika orang-orang membedakanmu dan mengolokku ketika bermain denganmu.
“Sebab
aku seorang keturunan, kecuali aku dapat naik ke langit dengan pengetahuan dan
kecerdasan, lalu menjadi ratu di atas sana.”
Saat
itu usiamu baru sembilan tahun, dan kita
masih harus sekolah! Aku masih belum mengerti mengapa kamu disebut seorang
keturunan.
Ah, Neina, amplop warna pelangi ini
masih tergantung di pintu kamarku dengan paku payung yang telah karatan.
“Aku harus bisa menjadi ratu di
langit!” Usiamu baru sembilan tahun!
“Bila terjadi apa-apa sampaikan pada
angin, aku terjaga di sana,”
ujarku tidak hendak menilaimu lemah karena aku tahu kamu adalah perempuan
perkasa.
***
Wajah senja sudah tidak lagi utuh,
sesekali berkelebat di antara goyangan daun-daun angsana yang menjaga tepi
jalan aspal depan kampus pertanian.
Sudah tidak ada lagi pembicaraan tentangmu apalagi denganku. Barangkali aku
adalah lelaki yang tidak tahu diri dan goblok. Karena masih saja terjebak
romantisme masa kecil. Barangkali bagimu sudah hangus terbakar masa kini,
terbakar lelaki berkulit pohon pinus, cemburukah aku?
***
Koran
sore baru sempat aku baca malam hari, terlalu lama mengingatmu barangkali.
Halaman pertama kolom tiga ;
“Negeri Entahlah telah hilang
ditelan kerusuhan tadi pagi, seorang perempuan bermata separuh biji kelereng
yang sempat selamat dari kepungan perusuh akhirnya meninggal di rumah sakit.
Sepucuk surat
dengan sampul pelangi ditemukan polisi di dalam saku bajunya. Di sampul itu
tertulis sebuah nama dan alamat : Parang
(Lelaki Berkulit Pinus), Kampung Misteri (Kota Terlarang kita). Perempuan
berkulit sejernih apel Malang yang juga pernah tinggal bersama keluarganya di
Kampung Misteri itu diketahui bernama Neina Sin Wijaya.”
Seketika aku tidak ingin hidup,
meski aku sedang tidak ingin mati. Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa.
Hanya ingin berusaha menarikmu kembali seperti Junglu menyelamatkan Yehonala
dan membantu perempuan itu menebas segala intrik busuk para pesaing juga para
kasim.
***
Hari ini senja berubah ungu.
Sesekali mengintip di antara batang-batang angsana. Seperti udara ketika hidup
terpaksa kamu tinggalkan. Kini setelah hampir lima tahun kamu mengangkasa, aku begitu rindu padamu. Kerinduan akan
perubahan seperti yang pernah kamu inginkan ketika usiamu baru sembilan tahun.
Agar kita dapat benar-benar memilih antara hitam dan putih. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar