Sabtu, 10 Mei 2014

LELAKI KULIT PINUS



Semenjak pertemuan antara kita menjadi kenyataan pahit, aku kerap mengira-ngira apakah nantinya masih ada lagi kemungkinan-kemungkinan untuk kita saling menatap. Kini, sudah berjalan 25 tahun lebih 2 bulan, tiba-tiba saja aku menjadi sangat ingin mengingatmu, setelah hanya tinggal sepucuk surat yang dulu sengaja kamu gantungkan di depan pintu kamarku dengan seutas benang merah jambu.
Waktu itu aku hanya menatap sampul pelangi darimu bergoyang-goyang di jepit paku payung tanpa prasangka sebab aku sedang terlalu bahagia bersamamu. Sampai jam dinding berdentang sepuluh  kali. Akhirnya aku tahu bahwa kamu sudah naik kereta pukul satu pagi, pergi ke negeri entahlah. Aku menghela nafas panjang, sekali lagi surat darimu kubaca,
Parang, selamat pagi
Sampul pelangi, surat wangi, benang merah jambu
Aku berikan kenangan di sini.
Satu pagi, sebelum kokok menjemput para malaikat
Aku sudah berada dalam ruang besi,
Melepas setiap batang rel yang meyimpan bunga kecil putih kuning
Milik kita,
Aku pergi mencari negeri entahlah
Agar asalku menjadi punya arti.

Adakah pagi juga untukku?
-NEINA-
Ada sebuah pertanyaan ingin aku sampaikan kepadamu sejak dulu ; mengapa kamu pergi, atau jika memang kamu ingin pergi mengapa hanya surat saja yang tertinggal, lalu gambarmu? Tentu saja aku tidak akan melupakan wajahmu  dua puluh lima tahun lalu, tetapi sekarang sudah seperti apakah? Mungkinkah tetap masih sama, atau sudah berubah? Bagaimana pun ketika waktu berjalan pastilah segala sesuatunya akan berbeda.
***
            Jika sore hari tidak ada hujan, aku masih sering berjalan melewati batang-batang rel kereta api di sebelah kampung kita. Walaupun aku tahu orang-orang tidak akan  pernah merelakan kamu pun mengakuinya meski dalam surat kelahiranmu dituliskan bahwa kamu terlahir di sini, di Kampung Misteri. Aku pun masih ingat, kamu sering merengek agar aku memetik bunga-bunga kecil putih kuning yang tumbuh di tepi batang rel lalu kamu memintaku memilin bunga-bunga itu menjadi sebuah cincin atau bando.
            Juga ketika pohon pete Wak Sanip sedang berbunga, kita berlarian berebut bunga pete yang jatuh di pagi hari bersama anak-anak kampung. Lalu kamu melemparnya ke langit.
            “Agar Dewa Langit pun bisa makan pete,”
            Ah, Neina, apa yang sedang kamu pikirkan saat ini, Sayang? Apakah kamu masih percaya kepada Dewa Langit?
            “Apa yang sedang kamu lakukan, Neina?”
            “Membakar hio,”
            “Untuk apa?”
            “Karena aku sedang berdoa memohon keselamatan dan kebahagiaan untukku, untuk ayah dan ibuku  juga untukmu, Parang.”
            Sejak itu setiap kali aku sembahyang, namamu pasti kusisipkan di bibir dan batinku. Meminta agar kamu dan orang tuamu diberikan keselamatan dan kebahagiaan. Apakah Engkau dengar, Tuhan? Aku tidak tahu jawabannya dan aku juga tidak tahu apakah Tuhanmu pun mendengarkan namaku disebut olehmu.
            Kamu sungguh baik kepadaku, Neina. Meski sering aku cubit kulit halusmu yang sejernih buah apel Malang, juga ketika mengolok matamu yang hanya separuh biji kelereng itu. Kata tukang ramal dekat rumahmu, pada usia 20 tahun nanti kamu akan berjodoh dengan pemuda berkulit pohon pinus, akukah? Bukan, tentu saja bukan sebab sejak itu kamu tidak pernah lagi melemparkan bunga pete ke langit. Tidak pernah lagi merengek meminta cincin atau bando dari bunga kecil putih kuning yang kita petik di pinggir rel kereta api setiap sore jika hujan sedang tidak ada.
***
            Senja berdiri kabur di atas kanopi angsana (Pterocarpus indicus), aku terus  mengayunkan kaki melewati jalan keluar kampus di tepi danau Tanpa Nama yang  sejak tiga tahun lalu menjadi tempatku mengajar. Bagaimana denganmu Neina? Sekolah di mana, bekerja di mana, sudah menikahkah dirimu? Busyet! Hanya pertanyaan terakhir selalu memberiku mimpi buruk tentangmu, siapa lelaki berkulit pohon pinus itu?
            “Maaf, Pak, saya bukan Neina,”
            Astaga! Sampai mulut dan otakku pun sudah tidak nyambung lagi, kau juga kah? Mengingat segala permainan sembilan tahun usiamu bersamaku sedemikian rupa sehingga setiap dalil, sedetail rumus, seinchi langkah, sehuruf kata,  seangka hitungan, namamu tidak  henti-hentinya terngiang. Apakah akan selamanya seperti ini, Neina?
            “Pak! Bukankah E sama dengan emce kuadrat adalah rumus untuk menghitung kecepatan cahaya yang diciptakan oleh Einstein?”
            “Ya, lalu?”
            “Mengapa ditulis Neina, Pak?”
            Duh Gusti Allah, mata setengah biji gundu itu terus mengikutiku. Benar-benar serupa hantu. Aku lari ke segala penjuru dan mata angin, kamu selalu saja mengejar.
            “Pak, benarkan bambu cina adalah sejenis bambu pembawa keberuntungan?” Oh.., apalagi, brengsek!
            Di depan rumahmu banyak sekali, bukan banyak tepatnya kurang lebih ada lima pot tanaman bambu cina. Ibumu pernah bilang bahwa tanaman tersebut dapat memberi keberuntungan bagi pemiliknya. Sampai kini aku masih belum mengerti, mungkin karena aku selalu memaksa diri meyakini  keberuntunganku adalah menjadi lelaki berkulit pohon pinus yang berjodoh denganmu kelak.
            “Bukan bambu cina tetapi Neina!”
            Entahlah mengapa selalu namamu, akhir-akhir ini. Sehingga angin seperti kilat menebar desas-desus tentangku denganmu. Mereka mengira aku tengah jatuh cinta kepadamu, bahkan ada yang mengatakan telah patah hati karenamu.
            Pasti kamu pun akan tertawa sepertiku saat ini, menertawakan mereka. Barangkali sesungguhnya aku sedang menertawakan diriku sendiri yang malang dan bodoh.
            Sudah seberapa jauh kamu pergi, Sayang? Dulu kamu selalu suka memanggilku Junglu, seolah-olah aku adalah lelaki dewasa. Sedang aku memanggilmu Yehonala. Dan Kampung Misteri adalah seperti Kota Terlarang kita. Lalu, kaisar?
            “Jangan buat kaisar itu  ada,” suatu saat ujarmu di temaram senja.
            “Mengapa?”
            Tiba-tiba kamu merasuk ke dalam pekatnya sunyi sehingga kesenyapan berwarna ungu. Kamu menjelma seperti batu ; kaku dan kesepian. Namun aku tahu kamu sedang berpikir seakan  sedang melukis Kota Terlarang sendirian, tanpa kaisar. Seperti Yehonala melukis rumpun bambu dan pohon premnya dengan angan-angan seorang perempuan berpikiran cerdas berpadu dengan lelaki berhati baja. Bukan dengan angan orang lain. Aku tahu,  kamu ingin mencapai bintang tertinggi agar dapat  bebas memilih antara hitam dan putih sebab katamu sampai kapanpun Kampung Misteri tidak akan merelakanmu mengakuinya sebagai tanah kelahiran. Waktu itu aku belum mengerti tentang ucapanmu juga ketika orang-orang membedakanmu dan mengolokku ketika bermain denganmu.
“Sebab aku seorang keturunan, kecuali aku dapat naik ke langit dengan pengetahuan dan kecerdasan, lalu menjadi ratu di atas sana.”
Saat itu usiamu baru  sembilan tahun, dan kita masih harus sekolah! Aku masih belum mengerti mengapa kamu disebut seorang keturunan.
            Ah, Neina, amplop warna pelangi ini masih tergantung di pintu kamarku dengan paku payung yang telah karatan.
            “Aku harus bisa menjadi ratu di langit!” Usiamu baru sembilan tahun!
            “Bila terjadi apa-apa sampaikan pada angin, aku terjaga di sana,” ujarku tidak hendak menilaimu lemah karena aku tahu kamu adalah perempuan perkasa.
***
            Wajah senja sudah tidak lagi utuh, sesekali berkelebat di antara goyangan daun-daun angsana yang menjaga tepi jalan aspal depan kampus pertanian.  Sudah tidak ada lagi pembicaraan tentangmu apalagi denganku. Barangkali aku adalah lelaki yang tidak tahu diri dan goblok. Karena masih saja terjebak romantisme masa kecil. Barangkali bagimu sudah hangus terbakar masa kini, terbakar lelaki berkulit pohon pinus, cemburukah aku?

***
            Koran sore baru sempat aku baca malam hari, terlalu lama mengingatmu barangkali. Halaman pertama kolom tiga ;
            “Negeri Entahlah telah hilang ditelan kerusuhan tadi pagi, seorang perempuan bermata separuh biji kelereng yang sempat selamat dari kepungan perusuh akhirnya meninggal di rumah sakit. Sepucuk surat dengan sampul pelangi ditemukan polisi di dalam saku bajunya. Di sampul itu tertulis sebuah nama  dan alamat : Parang (Lelaki Berkulit Pinus), Kampung Misteri (Kota Terlarang kita). Perempuan berkulit sejernih apel Malang yang juga pernah tinggal bersama keluarganya di Kampung Misteri itu diketahui bernama Neina Sin Wijaya.”
            Seketika aku tidak ingin hidup, meski aku sedang tidak ingin mati. Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Hanya ingin berusaha menarikmu kembali seperti Junglu menyelamatkan Yehonala dan membantu perempuan itu menebas segala intrik busuk para pesaing juga para kasim.
***
            Hari ini senja berubah ungu. Sesekali mengintip di antara batang-batang angsana. Seperti udara ketika hidup terpaksa kamu tinggalkan. Kini setelah hampir lima tahun kamu mengangkasa,  aku begitu rindu padamu. Kerinduan akan perubahan seperti yang pernah kamu inginkan ketika usiamu baru sembilan tahun. Agar kita dapat benar-benar memilih antara hitam dan putih. ***

Sabtu, 03 Mei 2014

KEMRANGGEN dan SUM



Bila saja masih ada tempat yang tersisa di tepian hatimu, maka biarkan aku menumbuhkan kembali rumpun-rumpun padi ditengahnya. Menjaganya hingga berbunga lalu bila saatnya tiba, kita panen bersama. Bukankah itu semua akan terasa begitu indah?
          Aku tentu saja tidak ingin berjanji akan dapat membuatmu bahagia selamanya, seperti ketika ruang-ruang dibenakmu berubah menjadi guludan-guludan pengharapan, dipenuhi petak-petak persemaian atas segala impian masa depan. 
Aku lelah menjadi seonggok bualan hidup yang kau jalani....
Apa yang membuatmu tidak pernah sedikitpun percaya padaku, meski seringkali semua kuungkap dengan jelas, tidak ada yang tertutupi, seperti diriku yang telah membuka seluruh  hati untukmu. Berapa banyak lagi harus kuberikan padamu bangkai-bangkai penggerek padi yang telah semena-mena mematahkan semangat hidupmu. Pula sekumpulan tikus yang menjadikan bulir-bulir padi tak lagi dipenuhi harapan dan kasih sayang. Memburu sepasukan wereng juga lembing tanpa ampun, seperti memburu hatimu, Sum, yang memilih pergi meninggalkan kampung kita, meninggalkanku.
Sum, aku masih saja berusaha untuk bisa mengerti, mengapa kau memilih untuk pergi, meninggalkanku di sini.   Mungkin kau telah letih berkubang lumpur setiap hari, atau kau telah bosan berjemur di bawah terik matahari ketika musim tanam padi tiba. Aku selalu berusaha mengerti, Sum, ketika kedua kakimu dipenuhi bintik-bintik merah, karena betapa gatalnya lumpur di sawah yang baru kau tanami bibit-bibit padi. Pun ketika wajahmu memerah mengelupas, aku mengerti...
Di sini, di Dusun Kemranggen, rumah kita, aku terus saja mengingatmu, Sum.