…aku tidak ingin meninggalkan kampung
halaman,
tanah kelahiranku, namun pencarianku tentangmu
telah membawaku sampai di sini, di
kotamu…
Kegalauan menyergahku tak putus-putusnya, tanpa jeda.
Kalimat terakhir Nan membuatku seperti seorang pesakitan, dihujam ratusan
tuduhan dan kesalahan. Nan, sejujurnya ingin aku katakan kepadamu bahwa aku
berbeda denganmu. Hendaknya kau pahami, semua kejadian masa laluku adalah siksa
abadi yang memaksaku untuk memutuskan bahwa aku harus berlalu dari setiap
bentuk kehidupanmu. Pergi meninggalkanmu, pergi meninggalkan perkampungan ini,
pergi untuk meninggalkan seluruh masa-masa silamku. Meski terasa sulit, namun aku tetap harus
melakukannya. Melupakan seluruh makna perjumpaan kita selama ini, serta
berusaha menanggalkan setiap luka yang tercipta karenanya.
“Mengapa kau lari dariku!”
Teriakan Nan terdengar parau, seperti
tali lasso yang menjerat dan menelikung, menahan laju pergerakan langkah
kakiku. Aku terhenti tepat di simpang jalan. Angin terasa berkesiur menampari
tebing-tebing terjal. Sekali lagi kutoleh wajah Nan. Perempuan itu tampak samar
ditelan cahaya senja. Rambutnya yang legam dan kasar terburai disilir angin
yang turun dari lembah. Kabut mengambang di atas hamparan bunga-bunga tebu.
Kulihat Nan berlari-lari kecil ke arahku.
“Mengapa kau lari dariku!”
Nan terus mengejarku.
Tubuhnya yang pipih terlihat lunglai dan
rapuh seperti batang bambu yang bergoyang-goyang di pinggiran jalan setapak
itu. Rasanya aku ingin menjauh. Menolak keadaan yang mengharuskan aku
bertatapan dengan mata Nan. Bola mata yang kini basah karena linangan air mata,
dan yang
selalu mengirimkan puluhan
kenyataan pahit dalam lembaran hidupku.
Nan semakin dekat.
Tiba-tiba kurasakan tubuhku seperti dipenuhi bara api. Udara senja di Bon Hao
seakan-akan berubah menjadi gumpalan batu-batu yang menyesakkanku. Seolah
seorang penderita asma tahunan, nafasku memburu menahan gejolak yang tak
kupahami maknanya.
Nan yang lugu, namun
memiliki cinta yang murni bagaikan tebu. Tinggal tiga meter lagi sampai di
hadapanku, kurasakan seperti ada segodam palu, siap menghantamku. Langkah
kakinya kian dekat, menyisakan debam kencang yang menggigilkan seluruh
sendi-sendiku. Senjakala di Bon Hao. Angin kering di senja itu mengunci
tenggorokanku. Aku tertegun, tak bisa berkata apa-apa.
“Mengapa kau lari dariku?”
Ada nada getir dan kegersangan dalam pertanyaannya.
“Lalu, apa maumu!” Jawabku
dengan nada kasar, tanpa sadar bagaimana kata-kata itu bisa meluncur dari
mulutku.
Nan terhenyak, nampak sama
sekali tidak ada perkiraan di benaknya bahwa aku akan membentaknya sedemikian
rupa. Aku lebih lagi, menyesal mengeluarkan kata-kata yang kurasakan pasti akan
menyakiti Nan, perempuan yang begitu baik padaku selama pertemuanku dengannya, di
kota ini.
Bola mata Nan terasa
menjelajahi mataku, menjelajahi wajahku, dan memanggang seluruh tubuhku.
Tatapan matanya terasa begitu dalam menyelam di mataku, seakan-akan mencoba
mencari jawaban dari maksud segala perkataanku. Aku tidak sanggup lagi untuk
tidak memilih mengalihkan mukaku. Menjauhi sorot mata Nan yang selalu
mengingatkan puluhan kenyataan pahit itu.
“Kau tidak akan mengerti”
Ucapku tanpa ekspresi. Sesungguhnya aku sendiri juga tidak tahu apa makna
ucapanku.
“Apa yang tidak mungkin
aku mengerti?” Tanya Nan.
Tiupan angin menerbangkan suara Nan.
Aku ingin waktu berputar dengan cepat hingga dapat segera kuakhiri pertemuan
ini. Walau dalam hatiku aku ingin bisa berbagi hidup dengan Nan dan menyunggingkan kebahagiaan untuknya,
namun aku tetap harus pergi. Aku tidak mau Nan kecewa.
Tanpa membalas pertanyaan
Nan, kubalikkan tubuh dan bergegas pergi meninggalkan Nan di kelokan jalan itu,
meninggalkan perempuan cantik yang kini tengah mempertanyakan segala sikapku.
“Pengecut!”
Puluhan pisau merajamku
bersama teriakan Nan. Aku menghentikan langkah tanpa menoleh pada Nan yang
masih terus memakiku.
“Pengecut! Pecundang!
Penipu! Egois!”
Aku bergeming, mematung di
tengah cahaya senja yang terasa semakin tajam mengiris-iris perasaanku.
Kudengar Nan masih berteriak-teriak, kali ini suaranya bercampur isakan. Aku mulai gelisah, apakah Nan menangis. Aku
semakin tidak mampu menahan diri untuk tidak kembali.
Biasanya setiap kali Nan
berduka dan kulihat air matanya menggenang, aku pasti akan datang lalu menenangkan
perempuan itu dalam pelukanku.
“Aku tenang dalam
pelukanmu, kau baik padaku,” ucapnya selalu. Lalu sesudah itu Nan pasti akan
menciumi pipiku, rambutku, kemudian merebahkan lagi tubuhnya dalam dekapanku.
“ Aku bahagia sekali bila
bersamamu,”
Hmm…Nan memang berbeda,
segala yang aku lakukan untuknya selalu menuai pujian. Nan kerap mengatakan
bahwa aku lelaki yang baik dan dia merasa bersyukur bisa menjadi perempuanku.
Tetapi Nan tidak mengerti, semua itu justru membuatku merasa semakin tersiksa.
“Jangan tinggalkan aku!”
Bayangan masa laluku
bersama Nan terasa hancur berkeping-keping. Aku merasa ada puluhan anak panah
menghujam ke arahku, dan memaksaku kembali menatap perempuan itu. Kulihat butir
bening seperti anakan sungai mengalir di pipinya. Nan menangis. Aku masih
bertahan untuk tidak memeluknya.
Nan, perempuan berdarah
Jawa-Madura itu lahir di Bon Hao, sebuah perkampungan kecil di dekat
lereng gunung Semeru. Dia adalah seorang
perempuan cantik yang hidup dari limpahan harum biji-biji kopi yang tumbuh di
ladang. Usianya 21 tahun. Kulitnya kuning kecoklat-coklatan, dan rambutnya ikal
mayang seperti warna tembaga. Senyum Nan selalu menyisakan manis batang-batang
tebu. Aku bertemu dengan Nan di sebuah embong
menuju Bon Hao, setahun lalu. Tepat di
musim panen jagung tiba.
Aku penulis novel. Meski
sudah setahun lebih aku tinggal di kota
ini, aku lebih memilih menghabiskan waktuku di Bon Hao. Mencari inspirasi untuk
bahan tulisanku. Di pagi hari aku suka memandangi puncak gunung Semeru, bukit raksasa yang setiap saat
mengepulkan kabut panas, juga sesekali semburan api. Bon Hao memberiku semangat
alam untuk tetap bisa bertahan dari garis tangan yang mencekam hidupku. Dan
Nan, adalah garis nasib kepedihanku yang tidak mampu kukatakan padanya.
“Lupakan aku, Nan,” ucapku
waktu itu.
“Kau menyuruhku melupakan
setiap pertemuan kita?” Tanya Nan tak percaya.
“Seluruhnya,” jawabku
datar.
“Juga melupakan setiap
ciumanmu di bibirku, setiap usapan tanganmu di tubuhku, dan setiap pori tubuhmu
ketika menempel di atas kulitku?! Mengapa?!”
Nan seakan tak percaya.
“Kau akan kecewa
padaku,” jelasku.
“Apakah kau juga kecewa
padaku? Kecewa pada setiap ciumanku di bibirmu, juga setiap usapan tanganku di
tubuhmu dan pada setiap pori kulitku ketika menempel di atas kulitmu?!
Mengapa?!” Sekali lagi Nan bertanya.
“Karena aku tidak pernah
bisa melakukannya dengan sempurna untukmu,”
tukasku.
“Aku tidak peduli apakah
kau melakukannya dengan sempurna atau tidak!”
Nan berteriak.
Tubuh Nan terhempas,
bunga-bunga tebu berhamburan terbawa angin. Nan terduduk di atas rumputan. Dia
terlihat kecewa dan putus asa. Matanya redup seperti lembayung di senja itu.
Aku tak punya nyali menatap matanya, menatap kenyataan pahit yang tersimpan di
dalamnya. Kesedihan Nan telah mengusik benakku, merajam nyeri berkali-kali. Aku
tidak lagi mampu bertahan. Perlahan-lahan kudekati Nan, lalu kurengkuh tubuhnya
dengan erat. Nan mulai menangis. Segera
kubenamkan tubuhnya dalam dekapanku.
“Maafkan aku, Nan,”
“Mengapa kau harus pergi
meninggalkan aku?”
“Aku……….”
Nan menarik tubuhnya,
matanya memaksaku mengurai kenyataan pahit yang selalu kulihat setiap kali mataku beradu dengan sorot matanya. Tubuh Nan
yang pipih terlihat semakin rapuh.
“Katakan, agar aku bisa
mengerti.”
“Nan, aku tidak akan
pernah bisa mencintaimu dengan sempurna meski aku ingin melakukannya,”
“Mengapa?”
“Karena ada Bapak,”
“Ada apa dengan Bapak?”
“Setiap kali kita berusaha
menjadi satu senyawa yang tidak terpisahkan, Bapak selalu menjadi penyekat.”
“Tapi aku tidak pernah
melihat Bapak?”
“Kau tidak akan melihatnya
karena dia adalah Bapakku. Lelaki tua biadab itu adalah Bapakku!”
Nan tersentak, spontan
kedua kakinya mundur beberapa langkah ke belakang. Raut wajah Nan tampak
bingung dengan perkataanku. Angin seperti berhenti. Harum biji-biji kopi yang
tumbuh di ladang itu seakan tidak mampu menembus udara yang kian terasa kering
antara aku dan Nan.
“Apa yang dilakukan Bapak
padamu sehingga kau teramat membencinya?”
Ah….., bagaimana peristiwa
terkutuk itu akan bisa aku ceritakan kepada Nan, perempuan yang mencintaiku
sepenuh hati. Seonggok masa lalu telah membuatku menjadi sampah dan terasing
dari dunia selama bertahun-tahun, sampai suatu ketika kuperoleh kebebasanku
sebagai seorang petualang yang ingin melupakan sejarah masa silamku. Melupakan
perempuan yang mengaku sebagai Ibuku, yang entah telah berapakali kutemukan
tengah menjual kelaminnya di bawah tumpukan gerimis, kertas-kertas karton, dan
desing suara knalpot yang menderu-deru. Juga melupakan lelaki tua seperti
kucing yang tidak lain adalah Bapak.
Bukan.
Bukan kucing. Bapak bagiku tidak lebih dari seorang monster. Aku jijik melihat
Bapak. Mulutnya selalu bau kencing kuda dan ucapannya kasar seperti suara
gergaji. Kalau Bapak marah, tidak jarang tangannya berubah menjadi cambuk,
menghajar tubuhku. Dia adalah monster pincang yang berkali-kali dihajar massa
karena mencabuli anak laki-laki, seperti juga aku, seperti juga nasibku.
Bapak
juga seperti Ibu, ia kerap kutemukan tengah menjual kelaminnya di tempat
pelacuran. Di mata keduanya, aku seperti sebuah malapetaka. Sehingga wajar
untuk disiksa bahkan kalau mungkin dilenyapkan.
Sampai
suatu hari kudapati Bapak tengah mabuk tak sadarkan diri. Tubuhnya terkapar di
atas meja makan. Dengkur nafasnya terdengar seperti suara babi, sementara di
sekitarnya nampak bercecer sisa muntahan yang hampir mengering, baunya busuk
dan menyengat dikitari lalat-lalat. Pelan-pelan aku berjalan menghampirinya,
aku berpikir saat itu adalah
kemenanganku atasnya. Kebuasan merongrongku untuk tidak lagi memberi
kesempatan Bapak bernafas. Dengan bersijingkat kuambil pisau yang terselip di
dinding dapur. Dan sekejap kemudian, ujung pisau ditanganku itu telah
menyayat-nyayat tubuhnya.
Tidak
ada jeritan Bapak, hanya terdengar suara aakh…! Selebihnya sunyi. Barangkali
inilah kematian terindah yang harus ia lalui. Kematian yang sekaligus menjadi anugerah bagi anak laki-laki yang
telah kehilangan kehormatannya, kehilangan masa depannya.
Aku begitu riang menyaksikan darah menyembur membasahi tubuh Bapak dan kedua tanganku. Inilah takdirku. Aku telah menjemput cita-citaku, menyudahi nasib lelaki biadab yang telah memperkosaku berkali-kali.
Senja
masih berbenah di lereng Semeru. Siluet sinar sunset yang jatuh di Bon Hao
perlahan-lahan membungkus tubuh Nan. Aku termenung, suara tangis Nan terasa
masih membekas di telinga. Tidak, aku tidak bisa kembali.***
Dedicate for Sutinah.
Bon
Hao-Wonosobo, 23-28 Juni 2004
Note
: Cerpen ini terpilih sebagai satu dari Sepuluh Cerpen Terbaik Lomba Cipta Cerpen Nasional Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta, 2004. Dan
telah diterbitkan dalam antologi “Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama” oleh
Penerbit Wedatama Widya Sastra [dan] Creative Writing Institute, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar