Sabtu, 26 November 2016

Sunset di Bon Hao





…aku tidak ingin meninggalkan kampung halaman,
tanah kelahiranku, namun  pencarianku tentangmu
telah membawaku sampai di sini, di kotamu…

Kegalauan menyergahku tak putus-putusnya, tanpa jeda. Kalimat terakhir Nan membuatku seperti seorang pesakitan, dihujam ratusan tuduhan dan kesalahan. Nan, sejujurnya ingin aku katakan kepadamu bahwa aku berbeda denganmu. Hendaknya kau pahami, semua kejadian masa laluku adalah siksa abadi yang memaksaku untuk memutuskan bahwa aku harus berlalu dari setiap bentuk kehidupanmu. Pergi meninggalkanmu, pergi meninggalkan perkampungan ini, pergi untuk meninggalkan seluruh masa-masa silamku.  Meski terasa sulit, namun aku tetap harus melakukannya. Melupakan seluruh makna perjumpaan kita selama ini, serta berusaha menanggalkan setiap luka yang tercipta karenanya.

“Mengapa kau lari dariku!”
Teriakan Nan terdengar parau, seperti tali lasso yang menjerat dan menelikung, menahan laju pergerakan langkah kakiku. Aku terhenti tepat di simpang jalan. Angin terasa berkesiur menampari tebing-tebing terjal. Sekali lagi kutoleh wajah Nan. Perempuan itu tampak samar ditelan cahaya senja. Rambutnya yang legam dan kasar terburai disilir angin yang turun dari lembah. Kabut mengambang di atas hamparan bunga-bunga tebu. Kulihat Nan berlari-lari kecil ke arahku.

“Mengapa kau lari dariku!”
Nan terus mengejarku. Tubuhnya yang pipih terlihat  lunglai dan rapuh seperti batang bambu yang bergoyang-goyang di pinggiran jalan setapak itu. Rasanya aku ingin menjauh. Menolak keadaan yang mengharuskan aku bertatapan dengan mata Nan. Bola mata yang kini basah karena linangan air mata, dan  yang  selalu mengirimkan puluhan  kenyataan pahit dalam lembaran hidupku.

Nan semakin dekat. Tiba-tiba kurasakan tubuhku seperti dipenuhi bara api. Udara senja di Bon Hao seakan-akan berubah menjadi gumpalan batu-batu yang menyesakkanku. Seolah seorang penderita asma tahunan, nafasku memburu menahan gejolak yang tak kupahami maknanya. 


Nan yang lugu, namun memiliki cinta yang murni bagaikan tebu. Tinggal tiga meter lagi sampai di hadapanku, kurasakan seperti ada segodam palu, siap menghantamku. Langkah kakinya kian dekat, menyisakan debam kencang yang menggigilkan seluruh sendi-sendiku. Senjakala di Bon Hao. Angin kering di senja itu mengunci tenggorokanku. Aku tertegun, tak bisa berkata apa-apa.

“Mengapa kau lari dariku?” Ada nada getir dan kegersangan dalam pertanyaannya.
“Lalu, apa maumu!” Jawabku dengan nada kasar, tanpa sadar bagaimana kata-kata itu bisa meluncur dari mulutku.

Nan terhenyak, nampak sama sekali tidak ada perkiraan di benaknya bahwa aku akan membentaknya sedemikian rupa. Aku lebih lagi, menyesal mengeluarkan kata-kata yang kurasakan pasti akan menyakiti Nan, perempuan yang begitu baik padaku selama pertemuanku dengannya, di kota ini.

Bola mata Nan terasa menjelajahi mataku, menjelajahi wajahku, dan memanggang seluruh tubuhku. Tatapan matanya terasa begitu dalam menyelam di mataku, seakan-akan mencoba mencari jawaban dari maksud segala perkataanku. Aku tidak sanggup lagi untuk tidak memilih mengalihkan mukaku. Menjauhi sorot mata Nan yang selalu mengingatkan puluhan kenyataan pahit itu.

“Kau tidak akan mengerti” Ucapku tanpa ekspresi. Sesungguhnya aku sendiri juga tidak tahu apa makna ucapanku.
“Apa yang tidak mungkin aku mengerti?” Tanya Nan.

Tiupan angin menerbangkan suara Nan. Aku ingin waktu berputar dengan cepat hingga dapat segera kuakhiri pertemuan ini. Walau dalam hatiku aku ingin bisa berbagi hidup dengan  Nan dan menyunggingkan kebahagiaan untuknya, namun aku tetap harus pergi. Aku tidak mau Nan kecewa.

Tanpa membalas pertanyaan Nan, kubalikkan tubuh dan bergegas pergi meninggalkan Nan di kelokan jalan itu, meninggalkan perempuan cantik yang kini tengah mempertanyakan segala sikapku.

“Pengecut!”
Puluhan pisau merajamku bersama teriakan Nan. Aku menghentikan langkah tanpa menoleh pada Nan yang masih terus memakiku.

“Pengecut! Pecundang! Penipu! Egois!”
Aku bergeming, mematung di tengah cahaya senja yang terasa semakin tajam mengiris-iris perasaanku. Kudengar Nan masih berteriak-teriak, kali ini suaranya bercampur isakan.  Aku mulai gelisah, apakah Nan menangis. Aku semakin tidak mampu menahan diri untuk tidak kembali.

Biasanya setiap kali Nan berduka dan kulihat air matanya menggenang, aku pasti akan datang lalu menenangkan perempuan itu dalam pelukanku.
“Aku tenang dalam pelukanmu, kau baik padaku,” ucapnya selalu. Lalu sesudah itu Nan pasti akan menciumi pipiku, rambutku, kemudian merebahkan lagi tubuhnya dalam dekapanku.
“ Aku bahagia sekali bila bersamamu,”

Hmm…Nan memang berbeda, segala yang aku lakukan untuknya selalu menuai pujian. Nan kerap mengatakan bahwa aku lelaki yang baik dan dia merasa bersyukur bisa menjadi perempuanku. Tetapi Nan tidak mengerti, semua itu justru membuatku merasa semakin tersiksa.

“Jangan tinggalkan aku!”
Bayangan masa laluku bersama Nan terasa hancur berkeping-keping. Aku merasa ada puluhan anak panah menghujam ke arahku, dan memaksaku kembali menatap perempuan itu. Kulihat butir bening seperti anakan sungai mengalir di pipinya. Nan menangis. Aku masih bertahan untuk tidak memeluknya.

Nan, perempuan berdarah Jawa-Madura itu lahir di Bon Hao, sebuah perkampungan kecil di dekat lereng  gunung Semeru. Dia adalah seorang perempuan cantik yang hidup dari limpahan harum biji-biji kopi yang tumbuh di ladang. Usianya 21 tahun. Kulitnya kuning kecoklat-coklatan, dan rambutnya ikal mayang seperti warna tembaga. Senyum Nan selalu menyisakan manis batang-batang tebu. Aku bertemu dengan Nan di sebuah embong  menuju Bon Hao, setahun lalu. Tepat di musim panen jagung tiba.

Aku penulis novel. Meski sudah setahun lebih aku  tinggal di kota ini, aku lebih memilih menghabiskan waktuku di Bon Hao. Mencari inspirasi untuk bahan tulisanku. Di pagi hari aku suka memandangi puncak  gunung Semeru, bukit raksasa yang setiap saat mengepulkan kabut panas, juga sesekali semburan api. Bon Hao memberiku semangat alam untuk tetap bisa bertahan dari garis tangan yang mencekam hidupku. Dan Nan, adalah garis nasib kepedihanku yang tidak mampu kukatakan padanya.


 “Lupakan aku, Nan,” ucapku waktu itu.
“Kau menyuruhku melupakan setiap pertemuan kita?” Tanya Nan tak percaya.
“Seluruhnya,” jawabku datar.
“Juga melupakan setiap ciumanmu di bibirku, setiap usapan tanganmu di tubuhku, dan setiap pori tubuhmu ketika menempel di atas kulitku?! Mengapa?!”  Nan seakan tak percaya.
“Kau akan kecewa padaku,”  jelasku.
“Apakah kau juga kecewa padaku? Kecewa pada setiap ciumanku di bibirmu, juga setiap usapan tanganku di tubuhmu dan pada setiap pori kulitku ketika menempel di atas kulitmu?! Mengapa?!” Sekali lagi Nan bertanya.
“Karena aku tidak pernah bisa melakukannya dengan sempurna untukmu,”  tukasku.
“Aku tidak peduli apakah kau melakukannya dengan sempurna atau tidak!”  Nan berteriak.

Tubuh Nan terhempas, bunga-bunga tebu berhamburan terbawa angin. Nan terduduk di atas rumputan. Dia terlihat kecewa dan putus asa. Matanya redup seperti lembayung di senja itu. Aku tak punya nyali menatap matanya, menatap kenyataan pahit yang tersimpan di dalamnya. Kesedihan Nan telah mengusik benakku, merajam nyeri berkali-kali. Aku tidak lagi mampu bertahan. Perlahan-lahan kudekati Nan, lalu kurengkuh tubuhnya dengan erat. Nan mulai menangis.  Segera kubenamkan tubuhnya dalam dekapanku.

“Maafkan aku, Nan,”
“Mengapa kau harus pergi meninggalkan aku?”
“Aku……….”

Nan menarik tubuhnya, matanya memaksaku mengurai kenyataan pahit yang selalu kulihat setiap kali  mataku beradu dengan sorot matanya. Tubuh Nan yang pipih terlihat semakin rapuh.

“Katakan, agar aku bisa mengerti.”
“Nan, aku tidak akan pernah bisa mencintaimu dengan sempurna meski aku ingin melakukannya,”
“Mengapa?”
“Karena ada Bapak,”
“Ada apa dengan Bapak?”
“Setiap kali kita berusaha menjadi satu senyawa yang tidak terpisahkan, Bapak selalu menjadi penyekat.”
“Tapi aku tidak pernah melihat Bapak?”
“Kau tidak akan melihatnya karena dia adalah Bapakku. Lelaki tua biadab itu adalah Bapakku!”

Nan tersentak, spontan kedua kakinya mundur beberapa langkah ke belakang. Raut wajah Nan tampak bingung dengan perkataanku. Angin seperti berhenti. Harum biji-biji kopi yang tumbuh di ladang itu seakan tidak mampu menembus udara yang kian terasa kering antara aku dan Nan.

“Apa yang dilakukan Bapak padamu sehingga kau teramat membencinya?”
Ah….., bagaimana peristiwa terkutuk itu akan bisa aku ceritakan kepada Nan, perempuan yang mencintaiku sepenuh hati. Seonggok masa lalu telah membuatku menjadi sampah dan terasing dari dunia selama bertahun-tahun, sampai suatu ketika kuperoleh kebebasanku sebagai seorang petualang yang ingin melupakan sejarah masa silamku. Melupakan perempuan yang mengaku sebagai Ibuku, yang entah telah berapakali kutemukan tengah menjual kelaminnya di bawah tumpukan gerimis, kertas-kertas karton, dan desing suara knalpot yang menderu-deru. Juga melupakan lelaki tua seperti kucing yang tidak lain adalah Bapak. 

Bukan. Bukan kucing. Bapak bagiku tidak lebih dari seorang monster. Aku jijik melihat Bapak. Mulutnya selalu bau kencing kuda dan ucapannya kasar seperti suara gergaji. Kalau Bapak marah, tidak jarang tangannya berubah menjadi cambuk, menghajar tubuhku. Dia adalah monster pincang yang berkali-kali dihajar massa karena mencabuli anak laki-laki, seperti juga aku, seperti juga nasibku.

Bapak juga seperti Ibu, ia kerap kutemukan tengah menjual kelaminnya di tempat pelacuran. Di mata keduanya, aku seperti sebuah malapetaka. Sehingga wajar untuk disiksa bahkan kalau mungkin dilenyapkan.

Sampai suatu hari kudapati Bapak tengah mabuk tak sadarkan diri. Tubuhnya terkapar di atas meja makan. Dengkur nafasnya terdengar seperti suara babi, sementara di sekitarnya nampak bercecer sisa muntahan yang hampir mengering, baunya busuk dan menyengat dikitari lalat-lalat. Pelan-pelan aku berjalan menghampirinya, aku berpikir saat itu adalah  kemenanganku atasnya. Kebuasan merongrongku untuk tidak lagi memberi kesempatan Bapak bernafas. Dengan bersijingkat kuambil pisau yang terselip di dinding dapur. Dan sekejap kemudian, ujung pisau ditanganku itu telah menyayat-nyayat tubuhnya.

Tidak ada jeritan Bapak, hanya terdengar suara aakh…! Selebihnya sunyi. Barangkali inilah kematian terindah yang harus ia lalui. Kematian yang sekaligus  menjadi anugerah bagi anak laki-laki yang telah kehilangan kehormatannya, kehilangan masa depannya.


Aku begitu riang menyaksikan darah menyembur membasahi tubuh Bapak dan kedua tanganku. Inilah takdirku. Aku telah menjemput cita-citaku, menyudahi nasib lelaki biadab yang telah memperkosaku berkali-kali.

Senja masih berbenah di lereng Semeru. Siluet sinar sunset yang jatuh di Bon Hao perlahan-lahan membungkus tubuh Nan. Aku termenung, suara tangis Nan terasa masih membekas di telinga. Tidak, aku tidak bisa kembali.***
 

Dedicate for Sutinah.
Bon Hao-Wonosobo, 23-28 Juni 2004


Note : Cerpen ini terpilih sebagai satu dari Sepuluh Cerpen Terbaik Lomba Cipta Cerpen Nasional Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004.  Dan telah diterbitkan dalam antologi “Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama” oleh Penerbit Wedatama Widya Sastra [dan] Creative Writing Institute, 2004. 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar