Ceritakan kepadaku, tentang apa saja. Paling tidak, aku
ingin tahu mengapa purnama di Jakarta tidak lagi seperti di sini. Keperakan dan
perawan. Aku sebenarnya benci untuk menanyakan di mana semuanya kamu simpan. Barangkali
di kantong baju, di lipatan sarung atau di dalam celana kolormu. Seharusnya
kamu terbuka kepadaku. Dan berhentilah mengirimiku segala rupa cacing, belatung
busuk juga kencing kuda.
Pernah kamu bilang semua itu adalah
vitamin yang harus aku telan agar geragih di tubuhku segera bertunas. Lalu tumbuhlah anak-anak. Aku sesungguhnya
tidak mengerti tentang kemungkinan bahwa anak-anak akan muncul. Apalagi dari
segala rupa cacing, belatung busuk juga air kencing kuda. Taik kucing!
“Bagaimana kalau besok kita nonton
opera saja, barangkali bisa menjawab mengapa bulan di kotamu kini merah
jingga,”
“Apa yang tengah kamu pikirkan?
Bagiku sama saja, merah jingga atau keperakan,” barangkali udara yang semakin
mengeras di Jakarta telah menumpulkan kepekaanmu. Atau kamu sebenarnya buta
warna?
“Atau kita ikut pemilihan itu,
katanya satu suara bisa untuk membeli
mainan.” Sebab sebentar lagi pemilihan Bupati
di kota ini akan dimulai. “Ah..kalau saja kita mempunyai anak-anak,”
“Akhirnya anak-anak pula yang kita
rindukan.”
“Apalagi yang akan kita
perbincangkan selain anak-anak saat kita sedang menjadi batu. Kaku dan
kesepian.”
Anak-anak membuat hidup kita ada.
Celotehnya seperti derit gerimis. Tangisan mereka mengingatkan kita pada
keramaian thongperet di sela batang-batang
bambu di atas pereng Sungai Serayu,
mungkin seperti itu anak-anak bagi kita. Mereka membawa pesan alam agar
laki-laki benar-benar menjadi laki-laki dan perempuan menjadi sebenar-benar
perempuan. Begitulah engkau bicara sewaktu itu dalam sendu batu Malakit di
Hermitage.
“Alasan bahwa anak-anak akan
menyempurnakan kelamin kita yang berbeda sebagai laki-laki dan perempuan
mungkin akan membuat kita tetap bertahan.” Udara di sekitarmu ketika itu telah mati muda.
Tinggal kepingan karbon monoksida masih melayang-layang mengejar paru-paru.
***
Sejak senja tinggal sebagian,
gerbang petaka mulai disibukkan oleh karpet-karpet sialan, carut-marut berita
televisi, dan kesiur seputar peledakan.
Mereka adalah saksi mata orang lalu-lalang di atasnya. Awas! Ada pecahan
kaca terkapar di sekujur tubuh jalan raya. Bercampur dengan puluhan doa,
sekarung umpatan, berbagai keluhan dan serapah. Siaran berita bertubi dihitung
dari banyaknya bisul di pantat atau bekas koreng di kaki. Begitu banyak manusia
yang kurang memperhatikan kesehatannya.
Kita tidak henti disibukkan oleh makanan yang semakin sulit diperoleh di antara timbunan
harga-harga. Semakin banyak manusia kurang gizi di kota ini. Sebuah kota yang
kini ramai di televisi pemerintah maupun swasta.
“Mengapa tindakan evakuasi itu harus
dilakukan dengan menghalalkan segala cara padahal sudah ada proses negosiasi
sebelumnya?” Mata perempuan pembaca berita itu berwarna ungu, demikian pula
mata seorang perwira polisi yang tengah diwawancarai oleh nya. Semua itu mengingatkan
aku kepadamu yang juga bermata ungu.
“Mengapa keinginan itu harus memaksa
kita bertahan padahal sebenarnya kita sedang sakit?” Kancing kimono terlepas,
menjepit semangkuk nafas penuh busa sabun. Mataku perlahan merayapi tubuhmu
yang mulai bergaris-garis ungu.
Aku masih memanggang bola mata di
layar tivi. Mencari tidak hanya mite tong sampah. Berita dari serpihan serbuk
gergaji dengan apa pun rekayasa juga sandiwara tikus got. Televisi memang
selalu dipenuhi orang-orang yang bersandiwara. Apakah kamu juga begitu? Seperti
mereka yang kulihat di layar 14 inchi ketika tontonan hitam putih dipersaksikan
pada bola mata tanpa hitungan. Menggusur siaran radio yang dianggap sudah
kampungan. “Lelakiku, apakah anak-anak yang akan tumbuh dari mata tunas geragih
di tubuhku pun demikian nantinya?”
“Sudahlah, kamu telan saja ramuan
itu. Pasti sedikit lagi waktu, kita akan
memiliki ratusan anak-anak.”
“Dari keratan segala rupa cacing?”
“Ya, tentu saja,”
“Dari belatung busuk yang tidak
sempat berevolusi?”
“Ya, tentu saja,”
“Dan juga dari remah air kencing
kuda?”
“Ya, tentu saja,”
Huek! Anak-anak keparat. Keinginan
yang keparat. Sudah sekarung penuh ramuan brengsek itu aku telan. Kurang lebih
sejak november mulai basah di pertengahan tahun kambing.
“Tindakan yang kami lakukan sudah
sesuai prosedur, apabila negosiasi dikabulkan justru akan menghambat proses
selanjutnya,” suara laki-laki berdasi di televisi itu menyentakku dari
angan-angan percakapan masa lalu kita.
“Kita harus seperti ini meski kita
tahu pada akhirnya,” tiba-tiba es batu berhamburan dari mulutmu. Menggulungku
semakin dalam.
Aku semakin larut dalam
keputusasaan. Apa mungkin kita bisa leluasa hidup, tanpa dibayangi kata harus sehingga dari
tangan kita bisa lahir perubahan. Mengapa ada rekayasa, mengapa ada prosedur
bahkan mengapa ada kata harus dari mulutmu?
***
Ajaran apalagi yang akan
dinasehatkan kepada anak-anak kita kelak? Sedangkan setiap hati pelan-pelan
menjadi jumawa. Beranikah kamu dan aku menghadapi anak-anak bila berbeda dari kita? Pasti entahlah, sebab
kita pun tidak pernah bisa meyakini bahwa anak-anak kita akan selalu terjaga
dalam keinginan budaya adiluhung juga rasa bakti yang tinggi kepada Hyang Widi.
Kekasihku, aku takut dia akan menjadi mata pedang yang menebas nafas kita,
sebab telah kulihat pedang-pedang tumbuh seperti pohonan.
”Aduh!
Segala rupa cacing telah menggorok pankreasku!”
Harusnya anak-anak dilahirkan dari
kerikil saja agar bisa kita ambil di mana pun dan kapanku. Sesekali dapat
dilempar ke jalan, ke sungai atau dilupakan kembali jika kita sudah bosan
memainkannya. Atau anak-anak dicipta dari daunan agar bisa kit apetik sesuak
hati. Sewaktu-waktu dapat diperam dalam lubang derita jika kita ingin
mendewasakannya. Aku tidak mengerti siapa anak-anak itu. Barangkali wajahnya
mirip potongan rembulan, berkelebat dalam baju malam, di antara tubuh pohon
pisang ; di Ciampea.
“Aduh! Belatung-belatung busuk telah
bermigrasi ke ginjalku!”
“Aduh!
Air kencing kuda sudah menyumbat darahku sedemikian rupa!”
Aku tengah kesakitan, juga otakmu.
Sungguh biadab! Seperti itu pula aku dan dirimu ; sebatang teki dengan sepotong
geragih yang dipaksa menumbuhkan anak-anak. Ah,
demikianlah kita begitu biadab. Betapa kita masih menginginkan ratusan
anak-anak keluar dari geragih yang tidak
ingin lagi bertunas meskipun segala rupa cacing telah menggorok pankreasku,
belatung busuk bermigrasi ke ginjalku bahkan kencing kuda menyumbat darahku. Dan kita menjadi begitu biadab hanya karena
agar dapat membuktikan bahwa kamu adalah benar-benar laki-laki dan aku menjadi
perempuan sebenar-benar perempuan.
Tetapi kau bilang, bukankah inilah
hidup yang sesungguhnya? Sejak dahulu pun kita telah dikenalkan dengan tata
hidup kebiadaban bahkan kalau perlu dengan membunuh. Membunuh atau dibunuh.
Sungguh pilihan yang sulit untuk dipilih. Barangkali kita - kamu
dan aku - pun seperti itu,
membunuh demi terciptanya keinginan-keinginan kita. Dan demi tumbuhnya ratusan
anak-anak keparat, bukankah telah bunuh segala rupa cacing dan belatung?
***
Sebaiknya
lupakan saja tentang anak-anak yang tidak akan pernah ada untuk kita. Agar kebiadaban tidak
menjamur lama dalam kehidupan kita. Bukankah kamu sudah mengerti sedari dulu,
“Bagaimana mungkin anak-anak akan
lahir bila kita tidak pernah bercinta?” Tubuhku mulai berevolusi menjadi
plastik. Tiba-tiba butiran es berhamburan, menyisakan garis ungu seperti di
Hermitage.
Sepotong Kenangan Buat Teater T Solo
Perjalanan
Ciampea – Solo – Wonosobo,
24 Oktober
– 17 November 2002