Sabtu, 26 November 2016

ANAK ANAK GERAGIH




Ceritakan kepadaku, tentang apa saja. Paling tidak, aku ingin tahu mengapa purnama di Jakarta tidak lagi seperti di sini. Keperakan dan perawan. Aku sebenarnya benci untuk menanyakan di mana semuanya kamu simpan. Barangkali di kantong baju, di lipatan sarung atau di dalam celana kolormu. Seharusnya kamu terbuka kepadaku. Dan berhentilah mengirimiku segala rupa cacing, belatung busuk juga kencing kuda.
            Pernah kamu bilang semua itu adalah vitamin yang harus aku telan agar geragih di tubuhku segera bertunas.  Lalu tumbuhlah anak-anak. Aku sesungguhnya tidak mengerti tentang kemungkinan bahwa anak-anak akan muncul. Apalagi dari segala rupa cacing, belatung busuk juga air kencing kuda. Taik kucing!
            “Bagaimana kalau besok kita nonton opera saja, barangkali bisa menjawab mengapa bulan di kotamu kini merah jingga,”
            “Apa yang tengah kamu pikirkan? Bagiku sama saja, merah jingga atau keperakan,” barangkali udara yang semakin mengeras di Jakarta telah menumpulkan kepekaanmu. Atau kamu sebenarnya buta warna?
            “Atau kita ikut pemilihan itu, katanya satu suara bisa untuk  membeli mainan.” Sebab sebentar lagi pemilihan Bupati  di kota ini akan dimulai. “Ah..kalau saja kita mempunyai anak-anak,”
            “Akhirnya anak-anak pula yang kita rindukan.”
            “Apalagi yang akan kita perbincangkan selain anak-anak saat kita sedang menjadi batu. Kaku dan kesepian.”
            Anak-anak membuat hidup kita ada. Celotehnya seperti derit gerimis. Tangisan mereka mengingatkan kita pada keramaian thongperet di sela batang-batang bambu di atas pereng Sungai Serayu, mungkin seperti itu anak-anak bagi kita. Mereka membawa pesan alam agar laki-laki benar-benar menjadi laki-laki dan perempuan menjadi sebenar-benar perempuan. Begitulah engkau bicara sewaktu itu dalam sendu batu Malakit di Hermitage.
            “Alasan bahwa anak-anak akan menyempurnakan kelamin kita yang berbeda sebagai laki-laki dan perempuan mungkin akan membuat kita tetap bertahan.” Udara  di sekitarmu ketika itu telah mati muda. Tinggal kepingan karbon monoksida masih melayang-layang mengejar paru-paru.
***
            Sejak senja tinggal sebagian, gerbang petaka mulai disibukkan oleh karpet-karpet sialan, carut-marut berita televisi, dan kesiur seputar peledakan.  Mereka adalah saksi mata orang lalu-lalang di atasnya. Awas! Ada pecahan kaca terkapar di sekujur tubuh jalan raya. Bercampur dengan puluhan doa, sekarung umpatan, berbagai keluhan dan serapah. Siaran berita bertubi dihitung dari banyaknya bisul di pantat atau bekas koreng di kaki. Begitu banyak manusia yang kurang memperhatikan kesehatannya.  Kita tidak henti disibukkan oleh makanan yang  semakin sulit diperoleh di antara timbunan harga-harga. Semakin banyak manusia kurang gizi di kota ini. Sebuah kota yang kini ramai di televisi pemerintah maupun swasta.
            “Mengapa tindakan evakuasi itu harus dilakukan dengan menghalalkan segala cara padahal sudah ada proses negosiasi sebelumnya?” Mata perempuan pembaca berita itu berwarna ungu, demikian pula mata seorang perwira polisi yang tengah diwawancarai oleh nya. Semua itu mengingatkan aku kepadamu yang juga bermata ungu.
            “Mengapa keinginan itu harus memaksa kita bertahan padahal sebenarnya kita sedang sakit?” Kancing kimono terlepas, menjepit semangkuk nafas penuh busa sabun. Mataku perlahan merayapi tubuhmu yang mulai bergaris-garis ungu.
            Aku masih memanggang bola mata di layar tivi. Mencari tidak hanya mite tong sampah. Berita dari serpihan serbuk gergaji dengan apa pun rekayasa juga sandiwara tikus got. Televisi memang selalu dipenuhi orang-orang yang bersandiwara. Apakah kamu juga begitu? Seperti mereka yang kulihat di layar 14 inchi ketika tontonan hitam putih dipersaksikan pada bola mata tanpa hitungan. Menggusur siaran radio yang dianggap sudah kampungan. “Lelakiku, apakah anak-anak yang akan tumbuh dari mata tunas geragih di tubuhku pun demikian nantinya?”
            “Sudahlah, kamu telan saja ramuan itu. Pasti sedikit lagi waktu, kita  akan memiliki ratusan anak-anak.”
            “Dari keratan segala rupa cacing?”
            “Ya, tentu saja,”
            “Dari belatung busuk yang tidak sempat berevolusi?”
            “Ya, tentu saja,”
            “Dan juga dari remah air kencing kuda?”
            “Ya, tentu saja,”
            Huek! Anak-anak keparat. Keinginan yang keparat. Sudah sekarung penuh ramuan brengsek itu aku telan. Kurang lebih sejak november mulai basah di pertengahan tahun kambing.
            “Tindakan yang kami lakukan sudah sesuai prosedur, apabila negosiasi dikabulkan justru akan menghambat proses selanjutnya,” suara laki-laki berdasi di televisi itu menyentakku dari angan-angan percakapan masa lalu kita.
            “Kita harus seperti ini meski kita tahu pada akhirnya,” tiba-tiba es batu berhamburan dari mulutmu. Menggulungku semakin dalam.
            Aku semakin larut dalam keputusasaan. Apa mungkin kita bisa leluasa hidup,  tanpa dibayangi kata harus sehingga dari tangan kita bisa lahir perubahan. Mengapa ada rekayasa, mengapa ada prosedur bahkan mengapa ada kata harus dari mulutmu?
***
           
Aku belum selesai memanggang bola mata di layar tivi. Katanya orang-orang di luar sudah seperti plastik bahkan lima belas menit lagi akan benar-benar menjadi plastik karena ketakutan. Kini sembako bermula dari baahn kekerasan serta kekacauan, nyaris teror. Aku seperti orang-orang itu, kamu pun seperti aku ; seperti plastik. Lalu, bagaimana anak-anak kita?
            Ajaran apalagi yang akan dinasehatkan kepada anak-anak kita kelak? Sedangkan setiap hati pelan-pelan menjadi jumawa. Beranikah kamu dan aku menghadapi anak-anak  bila berbeda dari kita? Pasti entahlah, sebab kita pun tidak pernah bisa meyakini bahwa anak-anak kita akan selalu terjaga dalam keinginan budaya adiluhung juga rasa bakti yang tinggi kepada Hyang Widi. Kekasihku, aku takut dia akan menjadi mata pedang yang menebas nafas kita, sebab telah kulihat pedang-pedang tumbuh seperti pohonan.
”Aduh! Segala rupa cacing telah menggorok pankreasku!”
            Harusnya anak-anak dilahirkan dari kerikil saja agar bisa kita ambil di mana pun dan kapanku. Sesekali dapat dilempar ke jalan, ke sungai atau dilupakan kembali jika kita sudah bosan memainkannya. Atau anak-anak dicipta dari daunan agar bisa kit apetik sesuak hati. Sewaktu-waktu dapat diperam dalam lubang derita jika kita ingin mendewasakannya. Aku tidak mengerti siapa anak-anak itu. Barangkali wajahnya mirip potongan rembulan, berkelebat dalam baju malam, di antara tubuh pohon pisang ; di Ciampea.
            “Aduh! Belatung-belatung busuk telah bermigrasi ke ginjalku!”
“Aduh! Air kencing kuda sudah menyumbat darahku sedemikian rupa!”
            Aku tengah kesakitan, juga otakmu. Sungguh biadab! Seperti itu pula aku dan dirimu ; sebatang teki dengan sepotong geragih yang dipaksa menumbuhkan anak-anak. Ah,  demikianlah kita begitu biadab. Betapa kita masih menginginkan ratusan anak-anak keluar dari geragih yang  tidak ingin lagi bertunas meskipun segala rupa cacing telah menggorok pankreasku, belatung busuk bermigrasi ke ginjalku bahkan kencing kuda menyumbat darahku.  Dan kita menjadi begitu biadab hanya karena agar dapat membuktikan bahwa kamu adalah benar-benar laki-laki dan aku menjadi perempuan sebenar-benar perempuan.
            Tetapi kau bilang, bukankah inilah hidup yang sesungguhnya? Sejak dahulu pun kita telah dikenalkan dengan tata hidup kebiadaban bahkan kalau perlu dengan membunuh. Membunuh atau dibunuh. Sungguh pilihan yang sulit untuk dipilih. Barangkali kita -  kamu  dan aku -  pun seperti itu, membunuh demi terciptanya keinginan-keinginan kita. Dan demi tumbuhnya ratusan anak-anak keparat, bukankah telah bunuh segala rupa cacing dan belatung?
***
Sebaiknya lupakan saja tentang anak-anak yang tidak akan pernah  ada untuk kita. Agar kebiadaban tidak menjamur lama dalam kehidupan kita. Bukankah kamu sudah mengerti sedari dulu,
            “Bagaimana mungkin anak-anak akan lahir bila kita tidak pernah bercinta?” Tubuhku mulai berevolusi menjadi plastik. Tiba-tiba butiran es berhamburan, menyisakan garis ungu seperti di Hermitage.

                                                                                    Sepotong Kenangan Buat Teater T Solo
                                                                                                                Perjalanan Ciampea – Solo – Wonosobo, 
24 Oktober – 17 November 2002

Sunset di Bon Hao





…aku tidak ingin meninggalkan kampung halaman,
tanah kelahiranku, namun  pencarianku tentangmu
telah membawaku sampai di sini, di kotamu…

Kegalauan menyergahku tak putus-putusnya, tanpa jeda. Kalimat terakhir Nan membuatku seperti seorang pesakitan, dihujam ratusan tuduhan dan kesalahan. Nan, sejujurnya ingin aku katakan kepadamu bahwa aku berbeda denganmu. Hendaknya kau pahami, semua kejadian masa laluku adalah siksa abadi yang memaksaku untuk memutuskan bahwa aku harus berlalu dari setiap bentuk kehidupanmu. Pergi meninggalkanmu, pergi meninggalkan perkampungan ini, pergi untuk meninggalkan seluruh masa-masa silamku.  Meski terasa sulit, namun aku tetap harus melakukannya. Melupakan seluruh makna perjumpaan kita selama ini, serta berusaha menanggalkan setiap luka yang tercipta karenanya.

“Mengapa kau lari dariku!”
Teriakan Nan terdengar parau, seperti tali lasso yang menjerat dan menelikung, menahan laju pergerakan langkah kakiku. Aku terhenti tepat di simpang jalan. Angin terasa berkesiur menampari tebing-tebing terjal. Sekali lagi kutoleh wajah Nan. Perempuan itu tampak samar ditelan cahaya senja. Rambutnya yang legam dan kasar terburai disilir angin yang turun dari lembah. Kabut mengambang di atas hamparan bunga-bunga tebu. Kulihat Nan berlari-lari kecil ke arahku.

“Mengapa kau lari dariku!”
Nan terus mengejarku. Tubuhnya yang pipih terlihat  lunglai dan rapuh seperti batang bambu yang bergoyang-goyang di pinggiran jalan setapak itu. Rasanya aku ingin menjauh. Menolak keadaan yang mengharuskan aku bertatapan dengan mata Nan. Bola mata yang kini basah karena linangan air mata, dan  yang  selalu mengirimkan puluhan  kenyataan pahit dalam lembaran hidupku.

Nan semakin dekat. Tiba-tiba kurasakan tubuhku seperti dipenuhi bara api. Udara senja di Bon Hao seakan-akan berubah menjadi gumpalan batu-batu yang menyesakkanku. Seolah seorang penderita asma tahunan, nafasku memburu menahan gejolak yang tak kupahami maknanya. 


Nan yang lugu, namun memiliki cinta yang murni bagaikan tebu. Tinggal tiga meter lagi sampai di hadapanku, kurasakan seperti ada segodam palu, siap menghantamku. Langkah kakinya kian dekat, menyisakan debam kencang yang menggigilkan seluruh sendi-sendiku. Senjakala di Bon Hao. Angin kering di senja itu mengunci tenggorokanku. Aku tertegun, tak bisa berkata apa-apa.

“Mengapa kau lari dariku?” Ada nada getir dan kegersangan dalam pertanyaannya.
“Lalu, apa maumu!” Jawabku dengan nada kasar, tanpa sadar bagaimana kata-kata itu bisa meluncur dari mulutku.

Nan terhenyak, nampak sama sekali tidak ada perkiraan di benaknya bahwa aku akan membentaknya sedemikian rupa. Aku lebih lagi, menyesal mengeluarkan kata-kata yang kurasakan pasti akan menyakiti Nan, perempuan yang begitu baik padaku selama pertemuanku dengannya, di kota ini.

Bola mata Nan terasa menjelajahi mataku, menjelajahi wajahku, dan memanggang seluruh tubuhku. Tatapan matanya terasa begitu dalam menyelam di mataku, seakan-akan mencoba mencari jawaban dari maksud segala perkataanku. Aku tidak sanggup lagi untuk tidak memilih mengalihkan mukaku. Menjauhi sorot mata Nan yang selalu mengingatkan puluhan kenyataan pahit itu.

“Kau tidak akan mengerti” Ucapku tanpa ekspresi. Sesungguhnya aku sendiri juga tidak tahu apa makna ucapanku.
“Apa yang tidak mungkin aku mengerti?” Tanya Nan.

Tiupan angin menerbangkan suara Nan. Aku ingin waktu berputar dengan cepat hingga dapat segera kuakhiri pertemuan ini. Walau dalam hatiku aku ingin bisa berbagi hidup dengan  Nan dan menyunggingkan kebahagiaan untuknya, namun aku tetap harus pergi. Aku tidak mau Nan kecewa.

Tanpa membalas pertanyaan Nan, kubalikkan tubuh dan bergegas pergi meninggalkan Nan di kelokan jalan itu, meninggalkan perempuan cantik yang kini tengah mempertanyakan segala sikapku.

“Pengecut!”
Puluhan pisau merajamku bersama teriakan Nan. Aku menghentikan langkah tanpa menoleh pada Nan yang masih terus memakiku.

“Pengecut! Pecundang! Penipu! Egois!”
Aku bergeming, mematung di tengah cahaya senja yang terasa semakin tajam mengiris-iris perasaanku. Kudengar Nan masih berteriak-teriak, kali ini suaranya bercampur isakan.  Aku mulai gelisah, apakah Nan menangis. Aku semakin tidak mampu menahan diri untuk tidak kembali.

Biasanya setiap kali Nan berduka dan kulihat air matanya menggenang, aku pasti akan datang lalu menenangkan perempuan itu dalam pelukanku.
“Aku tenang dalam pelukanmu, kau baik padaku,” ucapnya selalu. Lalu sesudah itu Nan pasti akan menciumi pipiku, rambutku, kemudian merebahkan lagi tubuhnya dalam dekapanku.
“ Aku bahagia sekali bila bersamamu,”

Hmm…Nan memang berbeda, segala yang aku lakukan untuknya selalu menuai pujian. Nan kerap mengatakan bahwa aku lelaki yang baik dan dia merasa bersyukur bisa menjadi perempuanku. Tetapi Nan tidak mengerti, semua itu justru membuatku merasa semakin tersiksa.

“Jangan tinggalkan aku!”
Bayangan masa laluku bersama Nan terasa hancur berkeping-keping. Aku merasa ada puluhan anak panah menghujam ke arahku, dan memaksaku kembali menatap perempuan itu. Kulihat butir bening seperti anakan sungai mengalir di pipinya. Nan menangis. Aku masih bertahan untuk tidak memeluknya.

Nan, perempuan berdarah Jawa-Madura itu lahir di Bon Hao, sebuah perkampungan kecil di dekat lereng  gunung Semeru. Dia adalah seorang perempuan cantik yang hidup dari limpahan harum biji-biji kopi yang tumbuh di ladang. Usianya 21 tahun. Kulitnya kuning kecoklat-coklatan, dan rambutnya ikal mayang seperti warna tembaga. Senyum Nan selalu menyisakan manis batang-batang tebu. Aku bertemu dengan Nan di sebuah embong  menuju Bon Hao, setahun lalu. Tepat di musim panen jagung tiba.

Aku penulis novel. Meski sudah setahun lebih aku  tinggal di kota ini, aku lebih memilih menghabiskan waktuku di Bon Hao. Mencari inspirasi untuk bahan tulisanku. Di pagi hari aku suka memandangi puncak  gunung Semeru, bukit raksasa yang setiap saat mengepulkan kabut panas, juga sesekali semburan api. Bon Hao memberiku semangat alam untuk tetap bisa bertahan dari garis tangan yang mencekam hidupku. Dan Nan, adalah garis nasib kepedihanku yang tidak mampu kukatakan padanya.


 “Lupakan aku, Nan,” ucapku waktu itu.
“Kau menyuruhku melupakan setiap pertemuan kita?” Tanya Nan tak percaya.
“Seluruhnya,” jawabku datar.
“Juga melupakan setiap ciumanmu di bibirku, setiap usapan tanganmu di tubuhku, dan setiap pori tubuhmu ketika menempel di atas kulitku?! Mengapa?!”  Nan seakan tak percaya.
“Kau akan kecewa padaku,”  jelasku.
“Apakah kau juga kecewa padaku? Kecewa pada setiap ciumanku di bibirmu, juga setiap usapan tanganku di tubuhmu dan pada setiap pori kulitku ketika menempel di atas kulitmu?! Mengapa?!” Sekali lagi Nan bertanya.
“Karena aku tidak pernah bisa melakukannya dengan sempurna untukmu,”  tukasku.
“Aku tidak peduli apakah kau melakukannya dengan sempurna atau tidak!”  Nan berteriak.

Tubuh Nan terhempas, bunga-bunga tebu berhamburan terbawa angin. Nan terduduk di atas rumputan. Dia terlihat kecewa dan putus asa. Matanya redup seperti lembayung di senja itu. Aku tak punya nyali menatap matanya, menatap kenyataan pahit yang tersimpan di dalamnya. Kesedihan Nan telah mengusik benakku, merajam nyeri berkali-kali. Aku tidak lagi mampu bertahan. Perlahan-lahan kudekati Nan, lalu kurengkuh tubuhnya dengan erat. Nan mulai menangis.  Segera kubenamkan tubuhnya dalam dekapanku.

“Maafkan aku, Nan,”
“Mengapa kau harus pergi meninggalkan aku?”
“Aku……….”

Nan menarik tubuhnya, matanya memaksaku mengurai kenyataan pahit yang selalu kulihat setiap kali  mataku beradu dengan sorot matanya. Tubuh Nan yang pipih terlihat semakin rapuh.

“Katakan, agar aku bisa mengerti.”
“Nan, aku tidak akan pernah bisa mencintaimu dengan sempurna meski aku ingin melakukannya,”
“Mengapa?”
“Karena ada Bapak,”
“Ada apa dengan Bapak?”
“Setiap kali kita berusaha menjadi satu senyawa yang tidak terpisahkan, Bapak selalu menjadi penyekat.”
“Tapi aku tidak pernah melihat Bapak?”
“Kau tidak akan melihatnya karena dia adalah Bapakku. Lelaki tua biadab itu adalah Bapakku!”

Nan tersentak, spontan kedua kakinya mundur beberapa langkah ke belakang. Raut wajah Nan tampak bingung dengan perkataanku. Angin seperti berhenti. Harum biji-biji kopi yang tumbuh di ladang itu seakan tidak mampu menembus udara yang kian terasa kering antara aku dan Nan.

“Apa yang dilakukan Bapak padamu sehingga kau teramat membencinya?”
Ah….., bagaimana peristiwa terkutuk itu akan bisa aku ceritakan kepada Nan, perempuan yang mencintaiku sepenuh hati. Seonggok masa lalu telah membuatku menjadi sampah dan terasing dari dunia selama bertahun-tahun, sampai suatu ketika kuperoleh kebebasanku sebagai seorang petualang yang ingin melupakan sejarah masa silamku. Melupakan perempuan yang mengaku sebagai Ibuku, yang entah telah berapakali kutemukan tengah menjual kelaminnya di bawah tumpukan gerimis, kertas-kertas karton, dan desing suara knalpot yang menderu-deru. Juga melupakan lelaki tua seperti kucing yang tidak lain adalah Bapak. 

Bukan. Bukan kucing. Bapak bagiku tidak lebih dari seorang monster. Aku jijik melihat Bapak. Mulutnya selalu bau kencing kuda dan ucapannya kasar seperti suara gergaji. Kalau Bapak marah, tidak jarang tangannya berubah menjadi cambuk, menghajar tubuhku. Dia adalah monster pincang yang berkali-kali dihajar massa karena mencabuli anak laki-laki, seperti juga aku, seperti juga nasibku.

Bapak juga seperti Ibu, ia kerap kutemukan tengah menjual kelaminnya di tempat pelacuran. Di mata keduanya, aku seperti sebuah malapetaka. Sehingga wajar untuk disiksa bahkan kalau mungkin dilenyapkan.

Sampai suatu hari kudapati Bapak tengah mabuk tak sadarkan diri. Tubuhnya terkapar di atas meja makan. Dengkur nafasnya terdengar seperti suara babi, sementara di sekitarnya nampak bercecer sisa muntahan yang hampir mengering, baunya busuk dan menyengat dikitari lalat-lalat. Pelan-pelan aku berjalan menghampirinya, aku berpikir saat itu adalah  kemenanganku atasnya. Kebuasan merongrongku untuk tidak lagi memberi kesempatan Bapak bernafas. Dengan bersijingkat kuambil pisau yang terselip di dinding dapur. Dan sekejap kemudian, ujung pisau ditanganku itu telah menyayat-nyayat tubuhnya.

Tidak ada jeritan Bapak, hanya terdengar suara aakh…! Selebihnya sunyi. Barangkali inilah kematian terindah yang harus ia lalui. Kematian yang sekaligus  menjadi anugerah bagi anak laki-laki yang telah kehilangan kehormatannya, kehilangan masa depannya.


Aku begitu riang menyaksikan darah menyembur membasahi tubuh Bapak dan kedua tanganku. Inilah takdirku. Aku telah menjemput cita-citaku, menyudahi nasib lelaki biadab yang telah memperkosaku berkali-kali.

Senja masih berbenah di lereng Semeru. Siluet sinar sunset yang jatuh di Bon Hao perlahan-lahan membungkus tubuh Nan. Aku termenung, suara tangis Nan terasa masih membekas di telinga. Tidak, aku tidak bisa kembali.***
 

Dedicate for Sutinah.
Bon Hao-Wonosobo, 23-28 Juni 2004


Note : Cerpen ini terpilih sebagai satu dari Sepuluh Cerpen Terbaik Lomba Cipta Cerpen Nasional Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004.  Dan telah diterbitkan dalam antologi “Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama” oleh Penerbit Wedatama Widya Sastra [dan] Creative Writing Institute, 2004.